Feeds RSS

Jumat, 05 Juni 2009

karya tafsir di indonesia pada Abad ke-20

PENDAHULUAN Al Qur’an yang dalam memori kolektif kaum muslimin sepanjang abad sebagai kalam Allah, menyebut dirinya sebagai “petunjuk bagi manusia” dan memberikan “penjelasan atas segala sesuatu” sedemikian rupa sehingga tidak ada sesuatupun yang ada dalam realitas yang luput dari penjelasannya. Bila diasumsikan bahwa kandungan al Qur’an bersifat universal, berarti aktualitas makna tersebut pada tataran kesejarahan meniscayakan dialog dengan pengalaman manusia dalam konteks waktu. Hal ini juga berlaku dengan kajian tafsir yang ada di Indonesia. Sesuai dengan kondisi sosio-historisnya, Indonesia juga mempunyai perkembangan tersendiri dalam kaitannya dengan proses untuk memahami dan menafsirkan al Qur’an. BAB II PEMBAHASAN A. TAFSIR AL BAYAN 1). Biografi Penulis Penulis tafsir ini adalah Prof. DR. Teungku Muhammad Hasbi bin Muhammad Husein bin Muhammad Mas’ud bin Abd. Rahman Ash Shiddieqy. Dilahirkan pada bulan Jumadil Akhir 1321H/ 10 Maret 1907 M di Lho Seumawe + 273 km sebelah timur Banda Aceh. Hasbi Ash Shiddieqy menuntut ilmu dari para ulama di beberapa pondok pesantren terkenal di Dayah, Blangkabu, Gendong, Krueng Mane, Kutaraja dsb. Dari silsilahnya diketahui bahwa ia adalah keturunan ke-37 dari Abu Bakar Ash Shiddieq. Beliau mempelajari bahasa Arab daripada gurunya yang bernama Syeikh Muhammad ibn Salim al-Kalali, seorang ulama berbangsa Arab. Pada tahun 1926 T.M Hasbi ash Shiddieqy berangkat ke Surabaya dan melanjutkan pelajarannya di Madrasah al-Irsyad, sebuah organisasi keagamaan yang didirikan oleh Syeikh Ahmad Surkati (1874-1943), seorang ulama yang berasal dari Sudan . Di Madrasah al-Irsyad Hasbi ash Shiddieqy mengambil takhassus dalam bidang pendidikan selama 2 tahun. Pengajiannya di al-Irsyad dan gurunya Ahmad Surkati banyak memberi didikan ke arah pembentukan pemikiran moden. Beliau juga pernah menuntut di Timur Tengah. T.M Hasbi ash Shiddieqy merupakan seorang ulama Indonesia yang terkenal. Beliau memiliki keahlian dalam bidang ilmu fiqh dan usul fiqh, tafsir, hadith, dan ilmu kalam. T.M Hasbi ash Shiddieqy telah dianugerahkan dua gelar Doktor Honoris Causa sebagai penghargaan di atas jasa-jasanya terhadap perkembangan Perguruan Tinggi Islam dan perkembangan ilmu pengetahuan keislaman Indonesia. Anugerah tersebut diperoleh dari Universitas Islam Bandung dan (UNISBA) pada 22 Maret 1975, dan dari IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta pada 29 Oktober 1975. Hasbi Ash Shiddieqy meninggal dunia pada tanggal 9 Desember 1975. Jasad beliau dikebumikan di pemakaman keluarga IAIN Ciputat Jakarta. 2) Karakteristik Tafsir al Bayan Tafsir al-Bayan merupakan hasil karya kedua yang dikarang oleh Prof. T.M Hasbi ash Shiddieqy dalam bidang penafsiran al-Qur’an sesudah karyanya yang pertama yaitu Tafsir An-Nur yang diterbitkan pada tahun 1956. Pada Muqaddimah tafsir ini, Hasbi Ash Shiddieqy menulis: “Dengan inayah Allah Taala dan taufiq-Nya, setelah saya selesai dari menyusun Tafsir An-Nur yang menterjemahkan ayat dan menafsirkannya, tertarik pula hati saya kepada menyusun al-Bayan” . Karyanya yang kedua ini juga merupakan terjemahan dan tafsir al-Qur’an dalam bahasa Indonesia yang diperkirakan dihasilkan oleh pengarang pada awal tahun 60-an lagi. Cetakan pertama kitab tafsir ini ialah pada tahun 1971 melalui terbitan PT Almaarif Bandung, dengan ukuran 15 x 22 cm. Hasbi Ash Shiddieqy menyatakan sebab-sebab penulisan tafsir ini adalah untuk menyempurnakan sistem penerjemahan yang terdapat dalam Tafsir An-Nur karya pertamanya dalam bidang ini. Di samping itu ia juga merasa bahwa terjemahan-terjemahan al-Qur’an yang beredar ditengah- tengah masyarakat perlu dikaji dan ditinjau semula. Ash Shiddieqy berkata di dalam kitab tafsirnya: “Maka setelah saya memperhatikan perkembangan penterjemahan al- Qur’an akhir-akhir ini, serta meneliti secara tekun terjemahan-terjemahan itu, nyatalah bahwa banyak kalimat yang perlu di tinjau dan disempurnakan. Oleh karenanya, dengan memohon taufiq dari Allah Ta’ala saya menyusun sebuah terjemah yang lain dari yang sudah-sudah yang melengkapi segala lafadz, bahwa melengkapi terjemah dari lafadz-lafadz yang diungkapkan menurut pendapat-pendapat ahli tafsir kenamaan. Al-Bayan yang dinamakan oleh pengarang adalah bermaksud “Suatu penjelasan bagi makna-makna al-Qur’an”. Kitab ini terdiri dari dua jilid. Jilid pertama mengandungi nas-nas ayat al-Qur’an rmulai dari surah al-Fatihah sampai dengan ayat 75 surah al-Kahf. Kesemua terjemahan dan tafsiran bagi jilid pertama mengandungi 789 muka surat. Jilid kedua Tafsir al-Bayan ini, dimulai dari surah al-Kahf ayat ke 75 sampai dengan surah al-Nas bersama terjemahan dan tafsirannya yang terkandung dalam muka surat 789 sehingga 1604. 3). Metode penafsiran Metode yang dipergunakan dalam penerjemahan ayat yaitu adakalanya Hasbi menerjemahkan lafal ayat saja, terkadang ia juga menerjemahkan makna ayat yaitu dengan memasukkan ke dalam ayat makna yang ia pandang seharusnya ada. Sehingga menurutnya terjemahan itu sudah menjelaskan makna. Sedangkan dalam penafsiran ayat-ayat al Qur’an Hasbi lebih menafsirkannya secara ringkas. Tafsiran ayat-ayat al Qur’an biasanya dimulai dengan kata “ya’ni”. Dalam menafsirkan ayat- ayat al Qur’an, Hasbi banyak melakukan penafsiran ayat dengan ayat yaitu dengan menerangkan ayat-ayat lain yang semakna. Ayat-ayat yang sebanding atau semakna ini biasanya dinyatakan dengan menyebut nomor surat dan nomor ayat, misalnya pada foot note 124 ketika menjelaskan surat al-Baqarah : 104, Hasbi kemudian membandingkan dengan surat an- Nisa’: 46 yaitu “ Bandingkan dengan ayat 46 S.4: An Nisa’. Sedangkan ayat-ayat yang ada hubungannya dengan penafsiran tersebut dinyatakan menyebut nomor surat dan nomor ayat, diawali dengan kata “ bacalah”. Misalnya pada foot note 200 ia menyatakan “baca : a. 6 S 35:Fathir; a. 50 S.18:Al Kahf”. Di samping itu, Hasbi juga sangat memperhatikan ayat- ayat yang berkaitan dengan hukum. Dan metodologi penafsirannya menggunakan ijmali dengan bentuk penafsiran bil-ra’yi, dengan corak umum. B. TAFSIR AL-AZHAR 1). Biografi penulis Tafsir ini ditulis oleh Haji Abdul Malik Karim Amrullah (atau lebih dikenal dengan julukan Hamka, yang merupakan singkatan namanya), lahir tahun 1908, di desa kampung Molek, Maninjau, Sumatera Barat, dan meninggal di Jakarta 24 Juli 1981, adalah sastrawan Indonesia, sekaligus ulama, dan aktivis politik. Belakangan ia diberikan sebutan Buya, yaitu panggilan buat orang Minangkabau yang berasal dari kata abi, abuya dalam bahasa Arab, yang berarti ayahku, atau seseorang yang dihormati. Ayahnya adalah Syekh Abdul Karim bin Amrullah, yang dikenal sebagai Haji Rasul, yang merupakan pelopor Gerakan Islah (tajdid) di Minangkabau, sekembalinya dari Makkah pada tahun 1906. Hamka adalah seorang otodidak dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan seperti filsafat, sastra, sejarah, sosiologi dan politik, baik Islam maupun Barat. Dengan kemahiran bahasa Arabnya yang tinggi, beliau dapat menyelidiki karya ulama dan pujangga besar di Timur Tengah seperti Zaki Mubarak, Jurji Zaidan, Abbas al-Aqqad, Mustafa al-Manfaluti dan Husayn Haykal. Melalui bahasa Arab juga, beliau meneliti karya sarjana Perancis, Inggris dan Jerman seperti Albert Camus, William James, Sigmund Freud, Arnold Toynbee, Jean Paul Sartre, Karl Marx dan Pierre Loti. Hamka juga rajin membaca dan bertukar-tukar pikiran dengan tokoh-tokoh terkenal Jakarta seperti HOS Tjokroaminoto, Raden Mas Surjopranoto, Haji Fachrudin, AR Sutan Mansur dan Ki Bagus Hadikusumo sambil mengasah bakatnya sehingga menjadi seorang ahli pidato yang handal. 2) Karakteristik Tafsir al Azhar Tafsir ini pada mulanya merupakan rangkaian kajian yang disampaikan pada kuliah subuh oleh Hamka di masjid al-Azhar yang terletak di Kebayoran Baru sejak tahun 1959. Nama al-Azhar bagi masjid tersebut telah diberikan oleh Syeikh Mahmud Shaltut, Rektor Universitas al-Azhar semasa kunjungan beliau ke Indonesia pada Desember 1960 dengan harapan supaya menjadi kampus al-Azhar di Jakarta. Penamaan tafsir Hamka dengan nama Tafsir al-Azhar berkaitan erat dengan tempat lahirnya tafsir tersebut yaitu Masjid Agung al-Azhar. Terdapat beberapa faktor yang mendorong Hamka untuk menghasilkan karya tafsir tersebut. Hal ini dinyatakan sendir oleh Hamka dalam mukadimah kitab tafsirnya. Di antaranya ialah keinginan beliau untuk menanam semangat dan kepercayaan Islam dalam jiwa generasi muda Indonesia yang amat berminat untuk memahami al-Quran tetapi terhalang akibat ketidakmampuan mereka menguasai ilmu Bahasa Arab. Kecenderungan beliau terhadap penulisan tafsir ini juga bertujuan untuk memudahkan pemahaman para muballigh dan para pendakwah serta meningkatkan keberkesanan dalam penyampaian khutbah-khutbah yang diambil daripada sumber-sumber Bahasa Arab Hamka memulai Tafsir Al-Azharnya dari surah al-Mukminun karena beranggapan kemungkinan beliau tidak sempat menyempurnakan ulasan lengkap terhadap tafsir tersebut semasa hidupnya. Mulai tahun 1962, kajian tafsir yang disampaikan di masjid al-Azhar ini, dimuat di majalah Panji Masyarakat. Kuliah tafsir ini terus berlanjut sampai terjadi kekacauan politik di mana masjid tersebut telah dituduh menjadi sarang “Neo Masyumi” dan “Hamkaisme”. Pada tanggal 12 Rabi’ al-awwal 1383H/27 Januari 1964, Hamka ditangkap oleh penguasa orde lama dengan tuduhan berkhianat pada negara. Penahanan selama dua tahun ini ternyata membawa berkah bagi Hamka karena ia dapat menyelesaikan penulisan tafsirnya 3). Metodologi penafsiran Tafsir al-Azhar merupakan karya Hamka yang memperlihatkan keluasan pengetahuan beliau, yang hampir mencakup semua disiplin ilmu penuh berinformasi. Sumber penafsiran yang dipakai oleh Hamka antara lain, al Qur’an, hadith Nabi, pendapat tabi’in, riwayat dari kitab tafsir mu’tabar seperti al Manar dan Mafatih al Ghayb, serta juga dari syair-syair seperti syair Moh. Ikbal. Tafsir ini ditulis dalam bentuk pemikiran dengan metode analitis atau tahlili. Karakteristik yang tampak dari tafsir al-Azhar ini adalah gaya penulisannya yang bercorak adabi ijtima’i (social kemasyarakatan) yang dapat disaksikan dengan begitu kentalnya warna setting sosial budaya Indonesia yang ditampilkan oleh Hamka dalam menafsirkan ayat-ayat al Qur’an. DAFTAR PUSTAKA Abd. Jalal, Tafsir al-Maraghi dan Tafsir al-Nur Sebuah Studi Perbandingan, Disertasi: IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 1985, 200. Disertasi Ilmiah 4: Tafsir al Bayan oleh Prof. Dr. TM Hasbi Ash shiddieqy, http://disertasi.blogspot.com. 28 Juni 2007 Hamka, Tafsir Al-Azhar juz 1, Jakarta: P.T Pembimbing Masa, 1967. Hasbi Ash Shiddieqy, Tafsir al Bayan Vol I, Bandung: PT Al Am’arif, tt. M. Yunan Yusuf, Corak Pemikiran Kalam Tafsir al Azhar Jakarta : Pustaka Panji Mas,1990. Nashruddin Baidan, Perkembangan Tafsir al Qur’an di Indonesia Solo: Tiga Serangkai Pustaka Mandiri, 2003. TM Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1999. Read More..

metodologi penelitian kualitatif dan kuantitatif

1. Konsep Kualitatif Penelitian kualitatif pada awalnya bersumber pada pengamatan kualitatif yang dipertentangkan dengan pengamatan kuantitatif. Pengamatan kuantitatif melibatkan pengukuran tingkatan ciri-ciri tertentu. Beberapa istilah yang digunakan untuk penelitian kualitatif, yaitu penelitian atau alamiah, etnografi, interaksionis simbolik, perspektif ke dalam, etnometodologi, the cicago school, fenomenologis, studi kasus, interpretatif, ekologis, dan deskriptis. Istilah penelitian kualitatif ada beberapa definisi. Pertama, Bogdan dan Taylor mendefinisikan metodologi kulitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptis berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan prilaku yang dapat diamati. Menurut mereka, pendekatan ini diarahkan pada latarbelakang dan individu tetsebut secara holistik (utuh). Jadi, dalam hal ini tidak boleh mengisolasikan individu atau organisasi ke dalam variable atau hipotesis, tetapi perlu memandangnya sebagai bagian dari sesuatu keutuhan. Kirk dan Miller juga mendefinisikan bahwa penelitian kualitatif adalah tradisi tertentu dalam ilmu pengetahuan social yang secara fundamental bergantung dari pengamatan pada manusia baik dalam kawasannya maupun peristilahannya. Selain definisi tersebut, di bawah ini dikemukakan pula beberapa definisi lainnya sehingga pembaca dapat memperoleh gambaran yang luas dan mendalam. David Williams menulis bahwa penelitian kulitatif adalah pengumpulan data pada suatu latar alamiah, dengan menggunakan metode alamiah, dan dilakukan oleh orang atau peneliti yang tertarik secara alamiah. Jelas definisi ini memberi gambaran bahwa penelitian kualitatif mengutamakan latar alamiah, dan dilakukan oleh orang yang mempunyai perhatian alamiah. Penulis buku penelitian kualitatif lainnya menyatakan bahwa penelitian kualitatif adalah penelitian yang menggunakan latar alamiah, dengan maksud menafsirkan fenomena yang terjadi dan dilakukan dengan jalan melibatkan berbagai metode yang ada. Penelitian kualitatif adalah penelitian yang menghasilkan prosedur analisis yang tidak menggunakan prosedur analisis statistik atau cara kuantifikasi lainnya. Jelas bahwa pengertian ini mempertentangkan penelitian kualitatif dengan menonjolkan bahwa usaha kuantifikasi apapun tidak perlu digunakan pada penelitian kualitatif. Menurut Jane Richie, penelitian kualitatif adalah upaya untuk menyajikan dunia sosial dan perspektifnya di dalam dunia, dari segi konsep, prilaku, persepsi, dan persoalan tentang manusia yang diteliti. Dari kajian tentang definisi-definisi tersebut dapatlah disintesiskan bahwa penelitian kualitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan dan lain-lain, secara holistik, dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode alamiah. 2. Konsep Penelitian Kuantitatif Metode kuantitatif dinamakan metode tradisional, karena metode ini sudah cukup lama digunakan sehingga sudah mentradisi sebagai metode untuk penelitian. Metode ini disebut sebagai metode positivistik karena berlandasan pada filsafat positvisme. Metode ini sebagai metode ilmiah karena telah memenuhi kaidah-kaidah ilmiah yaitu konkrit/empiris, obyektif terukur, rasional, dan sistematis. Metode ini juga disebut metode discovery, karena dengan metode ini dapat ditemukan dan dikembangkan berbagai iptek baru. Metode ini disebut metode kuantitatif karena data penelitian berupa angka-angka dan analisis menggunakan statistik. Metode kuantitatif dapat diartikan sebagai metode penelitian yang berlandaskan pada filsafat positivisme, digunakan untuk meneliti pada populasi atau sampel tertentu, pengumpulan data menggunakan instrumen penelitian, analisis data bersifat kuantitatif /statistik, dengan tujuan untuk menguji hipotesis yang telah ditetapkan. Filsafat positivisme memandang realitas/gejala/fenomena itu dapat diklasifikasikan, relatif tetap, konkrit, teramati, terukur dan hubungan gejala bersifat sebab akibat. Penelitian pada umumnya dilakukan pada populasi atau sampel tertentu yang representatif. Proses penelitian bersifat deduktif, di mana untuk menjawab rumusan masalah digunakan konsep atau teori sehingga dapat dirumuskan hipotesis. Hipotesis tersebut selanjutnya diuji melalui pengumpulan data lapangan. Untuk mengumpulkan data digunakan instrumen penelitian. Data yang telah terkumpul selanjutnya dianalisis secara kuantitatif dengan menggunakan statistik deskriptif atau inferensial sehingga dapat disimpulkan hipotesis yang dirumuskan terbukti atau tidak. Penelitian kuantitatif pada umumnya dilakukan pada sampel yang diambil secara random, sehingga kesimpulan hasil penelitian dapat digeneralisasikan pada populasi di mana sampel tersebut diambil. 3. Sistematika Model Kualitatif Salah satu ciri penting penelitian kualitatif, menurut Imam Bawani, adalah data-data cendrung bukan dalam bentuk angka, melainkan kata-kata. Namun demikian, tidak menutup kemungkinan penggunaan data berwujud angka, bahkan menempatkannya pada table atau grafik statistic. Penelitian kualitatif bertolak belakang dari situasi lapangan. Data-data dihimpun melalui observasi, wawancara dan dokumentasi. Sampel diformulasikan dalam wujud fokus studi. Pencarian data dilakukan serempak dengan analisis hingga memunculkan hipotesis-hipotesis untuk mengarahkan jalannya penelitian. Dari rangkaian aktifitas ini diharapkan menghasilkan kategori-kategori yang merupakan konsep-konsep yang juga murni dari realitas lapangan. Dari konsep inilah dapat dibangun sebuah teori yang berpijak dari data lapangan. Kuantitatif mempunyai ciri dalam pendekatannya antara lain: natural paradigma dan fenomenologi. Dalam penelitian ini menggunakan pendekatan asumsi dasar, karena di dalam pelaksanaannya model ini berawal dari ide kemudian menuju ke teori akan tetapi beda dengan teori kualitatif, dan teori ini tidak digunakan terlebih dahulu dalam penerapannya, dan fungsinya untuk pengetahuan saja dan tidak digunakan langsung. Setelah mengetahui teorinya langsung menuju ke observasi dan gunanya untuk menemukan data-data dan setelah menemukan data-data yang diinginkan maka diadakan analisis (operasional), kemudian generalisasi data setelah digeneralisasikan maka disimpulkan dengan teori yang telah ada, apakah sama dengan teori lama atau menemukan teori baru dalam penelitiannya tersebut. Jadi teori disini tidak semata-mata digunakan pedoman dalam penelitian akan tetapi hanya untuk pengetahuan dan tidak digunakan untuk pedoman yang mutlak. Dan hipotesa diperoleh setelah observasi dilakukan. 4. Sistematika Model Kuantitatif Sebagaimana pengertian dari kuantitatif, kuantitatif artinya jumlah, berkaitan dengan angka. Karena itu penyelesaian dalam analisis hasil penelitian cenderung menggunakan rumus-rumus statistik (inferensial) seperti product moment, chiquadrat dan sebagainya. Untuk dapat menghasilkan data penelitian dalam wujud angka, biasanya menggunakan angket sebagai instrumen pengumpul datanya. Angket itu disusun berdasarkan variable-variabel yang ada dan tersimpul dalam judul. Variabel ada hubungannya dengan hipotesis, yang diturunkan dari postulat sendiri berpangkal pada teori. Dalam penelitian ini mempunyai ciri dalam pendekatannya antara lain dalah: since, ilmiah, teori, positivisme. Pelaksanaannya berawal ide setelah ide muncul maka diperlukan sebuah teori yang sudah ada sebagai pedoman, setelah teori di dapat maka dimulai dengan hipotesa (dugaan-dugaan) baik itu positif ataupun negative. Setelah itu mulai kepada operasional dari berbagai macam dugaan yang ada, kemudian digeneralisasikan dari semua apa yang di dapat dari hasil penelitian tersebut dan hasil akhirnya apakah menyetujui teori lama tersebut ataukah menolaknya. Jadi, penelitian kuantitatif berangkat ide dan teori, kemudian pencarian datanya, dianalisis, dan kesimpulannya dirujukkan kembali pada teori. Hasilnya dapat bersifat mendukung, menolak, merevisi atau mengembangkan teori itu. Inilah yang dikatakan bahwa penelitian kuantitatif itu dimaksudkan menjembatani dunia konseptual dengan dunia emperik. Dan perlu diingat bahwa hipotesa dibangun karena teori beda dengan kualitatif yang mana hipotesa diperoleh setelah observasi dilakukan. Refrensi: Lexy Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, PT Remaja Rosdakarya, Bandung,cet II, 2009 Sugiono, Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitaif dan R & D, Alfabeta, Bandung, 2008 Fadjrul Hakam Chozin, Cara Mudah Menulis Karya Ilmiah, AlphaGrafika, tt, 1997 Read More..

buku tentang ilal al-hadits

Pendahuluan

’Ilal adalah jamak dari ’ilah yang berarti “penyakit”. ’Illah menurut istilah ahli hadits adalah suatu sebab yang tersembunyi yang dapat mengurangi status keshahihan hadits, padahal dhahirnya tidaknampak kecacatan.

Sedangkan ilmu ’ilal hadits adalah ilmu yang menerangkan sebab-sebab tersembunyi dan tidak nyata, yang dapat merusakkan hadits. Seperti : menyambung yang munqathi’, me-marfu’-kan yang mauquf, memasukkan suatu hadits ke dalam hadits yang lain, menempatkan sanad pada matan yang bukan semestinya, dan yang serupa itu. Semuanya ini, bila diketahui, dapat merusakkan keshahihan hadits.

Ilmu ini adalah ilmu yang tersamar bagi banyak ahli hadits.Ia dapat dikatakan jenis ilmu hadits yang paling dalam dan rumit, bahkan dapat dikatakan inilah intinya yang termulia. Tidak dapat diketahui penyakit-penyakit ( ‘ilal) melainkan oleh ulama yang mempunyai pengetahuan yang sempurna tentang martabat-martabat perawi dan mempunyai kemampuan yang kuat terhadap sanad dan matan-matan hadits. Ibnu Katsir berkata,”Yang dapat meneliti ilmu ini adalah para ulama yang ahli, yang dapat membedakan antara hadits shahih dan saqim (sakit), yang lurus dan yang bengkok, sesuai tingkatan ilmu, kepandaian, dan ketelitian mereka terhadap jalan hadits, serta ketajaman perasaan pada keindahan lafadh hadits Rasulullah صلى الله عليه وسلم yang tidak mungkin menyamai perkataan manusia.

Di antara beberapa riwayat hadits, ada yang asli, ada yang mengalami perubahan pada lafadh atau penambahan, atau pemalsuan, dan seterusnya. Semuanya ini hanya dapat diketahui oleh ulama yang mempunyai pengetahuan yang sempurna tentang ilmu ini. Sedangkan ta’lil dapat disimpulkan dari sanad, hanya dapat ditunjuk dengan praktek, dan untuk memaparkan contoh-contohnya di sini akan terlalu panjang. (Al-Ba’itsul-Hatsits Syarh Ikhtishar Ulumil-Hadits halaman 64a).

Dari Abdurrahman bin Mahdi berkata,”Mengetahui ’ilat hadits bagiku lebih aku sukai daripada menulis sebuah hadits yang bukan milikku”. Dia juga berkata,”Mengetahui hadits adalah ilham”.

Cara mengetahui ’illah hadits adalah dengan mengumpulkan beberapa jalan hadits dan mencermati perbedaan perawinya dan ke-dlabith-an mereka, yang dilakukan oleh orang yang ahli dalam ilmu ini. Dengan cara ini akan dapat diketahui apakah hadits itu mu’tal (ada ’illat-nya) atau tidak. Jika menurut dugaan penelitinya ada ’illat pada hadits tersebut, maka dihukumi sebagai hadits yangtidak shahih.

Abu Zur’ah ditanya tentang alasannya men-ta’lil hadits, ia berkata : “Anda bertanya tentang hadits yang ada ’illat-nya, lalu aku sebutkan ’illat-nya. Kemudian Anda bertanya tentang pendapat Ibnu Darah – yaitu Muhammad bin Muslim bin Darah – lalu dia menyebutkan ’illat-nya. Kemudian bertanya lagi tentang pendapat Abu Hatim Ar-Razi, lalu dia menyebutkan ’illat-nya. Setelah itu Anda dapat membandingkan pendapat masing-masing dari kami terhadap hadits tersebut. Jika terdapat perbedaan dalam ’illat-nya, maka ketahuilah bahwa itu berarti setiap kami berbicara sesuai dengan kehendaknya. Jika terdapat persamaan, maka itulah hakikat ilmu ini”. Setelah diteliti, ternyata pendapat mereka sama. Lalu dia berkata,”Aku bersaksi bahwa ilmu ini memang sebuah ilham”.(Ma’rifatu Ulumil-Hadits jalaman 113).

BAB II

Pembahasan

A. Hadits Ilal tentang pembunuhan

قول النبي صلى الله عليه و سلم: "يتقارب الزمان وينقص العلم ويلقى الشح وتظهر الفتن ويكثر الهرج".

Daru Qutni berkata: dalam kitab tatabu’

أخرج البخاري و مسلم :حديث عبد الأعلى عن معمر عن الزهري عن سعيد بن مسيب عن أبي هريرة قال : قال رسول الله صلى الله عليه و سلم ( يتقارب الزمان وينقص العلم ويلقى الشح وتظهر الفتن ويكثر الهرج ) . قالوا يا رسول الله أيما هو ؟ قال ( القتل القتل ) .[1]

Artinya:

Di keluarkan oleh Al-Bukhary dan Muslim: Nabi saw. Berkata zaman mulai menyempit, kurangnya ilmu, bertemu orang bakhil, terlihat fitnah-fitnah, dan banyaknya kekacauan, mereka berkata wahai rasulullah apa itu? Rasulullah menjawab pembunuhan, pembunuhan.

Dari hadits tersebut Daru Qutny berkata: terkadang pengikut Hammad bin Zaid Abdul A’la dan terkadang keduannya berbeda Abdul Razaq maka belum disebutkan Aba Hurairah dan menyandarkan langsung kepada Nabi saw. Dan telah dikatakan bahwasanya Ma’mar mengucapkannya di Bashrah (siapapun yang menghafalnya hadits-hadits dan lupa sebagiannya, dan terkadang berbeda dari segi sanadnya yaitu: Syu’aib, Yunus, Laits bin Sa’ad,diriwayatkan dari Zuhair dari Hamid dari Abu Hurairah), dan telah dikeluarkan oleh keduannya hadits Hamid pula.

Dan seperti keterangan dan penggambaran yang telah disebutkan oleh Daru Qutny jalan yang terbaik yang mengena kepada hadits tersebut adalah sebagai berikut:

خ، مـ

رسول الله

أبي هريرة

سعيد

الزهري

معمر

حماد

عبد الأعلى

1

2

شعيب

يونس

الليث

أبي أخي الزهرى

إسحاق بن يحي

عبد الرحمن بن يزيد

3

Penjelasan

Meneliti kepada jalur sanad yang pertama nomer 1, dan kedua nomer 2 terlihat dari sumbu peredaran keduannya atas Ma’mar, maka sesekali diriwayatkan sebuah hadits dari Ma’mar dari al-Zuhairy dari Said dari Abi Hurairah tersambung atau langsung dari Rasulullah saw tersambung tanpa terputus. Itu diriwayatkan dari Ma’mar: [abdul A’la dan Hammad]

dan sesekali diriwayatkan dari Ma’mar dari al-Zuhairy dari said berkata: Rasulullah saw bersabdah “Mursal” atau tanpa menyebutkan Abi Hurairah. Itu diriwayatkan dari Ma’mar abdul Razaq

dan Daru Qutni mengembalikan penyebutan dua sanad dengan dua gambar yang lain seperti berikut:

  1. Maka riwayat mana yang lebih Rajih diantara keduannya, yang disebutkannya di jalur sanadnya Abu Hurairah ra. Atau yang tidak disebutkannya?
  2. Maka jika kita merojihkan jalur sanad yang disebutkan Abu Hurairah ra. Hadits ini disebut hadits muttasil, apakah mereka orang tsiqah atau tidak tsiqah?dari segi pendengaran satu sama lain, atau apakah semua perawi mendengar apa yang diriwayatkan darinya atau tidak.
  3. Apabila kita men-tarjih-kan jalur sanad yang dihilangkannya (Abu Hurairah ra.) maka jalur sanad menjadi mursal mak dan dihukumi atas penyandaran dengan satu perkataan yang dhoif.

Maka bagaimana kita mentarjih, atau bagaimana cara mentarjih?

Secara global cara mentarjih dicontohkan melihat kepada periwayatan dari Ma’mar dari segi ke-tsiqoh-an mereka, dari segi jumlah mereka, dari segi pengetahuan mereka tentang Ma’mar dan pengkhususan meraka dengannya dari yang tidak diketahui.

Maka jika lebih terpercaya dan lebih mengetahui tentang Ma’mar meriwayatkan hadits dari Ma’mar, maka mereka menyebutkan dalam penyandarannya Abu Hurairah ra., kami menghukumi untuk sanad yang di dalamnya disebutkan Abu Hurairah yaitu: “Arjah” maka hadits tersebut hadits muttasil

Dan jika lebih terpercaya dan lebih mengetahui tentang Ma’mar meriwayatkan hadits dari Ma’mar, dan mereka menghilangkan dalam penyandarannya Abu Hurairah ra., kami menghukumi untuk sanad yang di dalamnya tidak disebutkan Abu Hurairah yaitu: “Arjah” maka hadits tersebut hadits mursal

Ini sebagai permulaan, yaitu global (yang dimaksud melihat pada periwayatan dari Ma’mar)

Akan tetapi terkadang terfokus kepada Ma’mar sendiri, atau kepada gurunya Ma’mar (al-Zuhry) atau kepada Said.

Terfokus kepada permasalahan Ma’mar dalam periwayatan darinya orang-orang terpercaya.

Maka dengan meneliti kepada periwayatan kita ini kita mendapatkan bahwa Abdul A’la dan Hammad di jalur nomer 1 berbeda dengan Abdul Razaq di jalur nomer 2, Abdul A’la dan Hammad keduannya Tsiqah begitu pula Abdul Razaq.

Dan dari segi kalimat: maka Abdul A’la dan Hammad diwajibkan supaya mengedepankan periwayatan keduannya atas Abdul Razaq, akan tetapi ada sesuatu yang menjadikan kami tidak memulai perjalanan ini, yaitu jika Abdul A’la dan Hammad itu lebih stiqah di banding Abdul Razaq, akan tetapi cacat (rusak) dari Ma’mar, maka Ma’mar terkadang mengatakan hadits-hadits tersebut dari Bashrah yang salah/khilaf (ghalatha) di dalamnya, oleh karenanya para ulama’ berkata: Sesungguhnya apa yang diucapkan Ma’mar di Bashrah ada cacat/rusak, dan periwayatan orang-orang bashrah darinya itu Dho’if, Abdul A’la dan Hammad berasal dari Bashrah, sedangkan Abdul Razaq berasal dari Yaman, maka Abdul Razaq sendirian dalam periwayatannya, maka periwayatannya didahulukan atas periwayatan dua orang. Dan karena itu cacat/rusak disini bukan dari periwayatan dua orang akantetapi dari Ma’mar. ia salah di haditsnya yang dari bashrah, oleh karena itu telah di-rajih-kan periwayatan Abdul Razaq atas periwayatan Abdul A’la dan Hammad.

Dari segi Tarjih

Terkecuali adanya cara yang lain sebagian ulama’ memulainya, selain cara men-tarjih, yaitu cara : mengumpulkan atara semua periwayatan-periwayatan yang ada, sebagian para Ahli Ilmu Hadits melihat: bahwasannyatidak ada pelarangan bahwasannya Ma’mar mengatakan atas dua segi, kedua segi tersebut shahih (benar), maka tidak ada pelarangan bagi Ma’mar meriwayatkan hadits dari Al-Zuhry dari Said dari Abi Hurairah dari Rasulullah, dan sesekali dari Al-Zuhry dari Said dari Nabi saw.

Membenarkan dua riwayat tersebut bersamaan, maka mereka mengatakan: riwayat yang Mursal, dan riwayat yang muttasil, dan bersama orang yang sampai tambahan,[2] maka jika yang bersambung itu ke-Tsioqah-an maka itu penambahan Tsiqah dan itu diterima (maqbul). Dan ini cara para ulama’ memulainya.

Penisbahan periwayatan ma’mar dari Al-Zuhry

Akan tetapi dengan penisbahan untuk meneliti kepada periwayatan dari Al-Zuhry kami menemukan enam dari periwayatan yang benar ((dan mereka itu adalah dalam jalur nomer 3)) mereka berbeda tentang Ma’mar dari segi yang lain, yaitu mereka menyebutkan hadits dari Al-Zuhry dari Hamid dari Abi Hurairah dari Nabi saw., mereka menyebutkan Hamid bukan Said, dan tidak diragukan lagi bahwa periwayatan ke-enam orang ini di dahului oleh periwayatan Ma’mar, maka enam itu jumlah yang banyak dan lebih Tsiqah.

Kemudian sesungguhnya Ma’mar juga berbeda atasnya, dan enam orang belum berbeda atas mereka, dan segi yang lain bagi yang berbeda dengan Ma’mar yaitu yang sudah ada di jalur nomer 4, yaitu sesunguhnya mengganti Al-Zuhairy dengan Hammam. Maka terbukti bahwasannya periwayatan siapa yang diriwayatkan sebuah hadits dari Al-Zuhry dari Hamid dari Abi Hurairah dari Rasulullah saw dan ini lebih benar (Ashohhu)

Kesimpulan:

1. Sebagaimana yang telah diungkapkan oleh para ulama’ hadits: sesungguhnya hadits apabila belum terkumpul jalur sanadnya belum jelas kecacatannya, maka lazim bagi pembahas supaya memperhatikan jalur sanad hadits sampai terlihat kecacatannya, jika disitu terdapat kecacatan, dan seperti apa yang telah jelas diatas jika pembahas bergegas melihat jalur sanad pada nomer 1 saja dan peneliti tertutup dari apa yang ada dari kecacatan bagi hokum. Dan keadaan perawi hadits harus tsiqah, dan pendengarannya sama satu dengan yang lainnya, dengan sanad yang benar, akan tetapi dengan penelitian pemaknaan dalam sanad itu sendiri. Dan dengan baris di depan sanad-sanad yang lain terlihat kecacatan.

2. Tidak dilazimkan bagi kita menghukumi dengan sanad yang dho’if yang menjadikan matan dho’if dari semua segi, akan tetapi kadang-kadang membenarkan hadits dari jalur yang lain, oleh karenanya pemeliharaan, maka bagi para pelajar memulai untuk menghukumi atas sanad saja.

3. Lazim, seperti apa yang telah dijelaskan tadi, agar pembahasan memfokuskan ditengah pembahasan tentang al-Rizal, dan rizalu al-sanad, tentang orang-orang sekitar bagi mereka penyandaran dengan derajat teratas (pertama), seperti apabila al-Zuhry dhoif maka pertemuannya akan menlemahkan sanad-sanad noemer 1, 2, 3 karena sanadnya meliputi beliau.

4. Sepatutnya agar melihat juga keadaan al-Rizal dari guru-gurunya kepada orang-orang disekitar mereka dalam penyandarannya.

5. Lazim setelah penelitian pembahasan dalam kitab ilal, dan perkataan para ulama ilal, sampai mengetahui ujung kesepakatan anda atau perbedaan anda dengan mereka.


[1] صحيح البخاري - (ج 6 / ص 2590): 6652 - حدثنا عياش بن الوليد أخبرنا عبد الأعلى حدثنا معمر عن الزهري عن سعيد عن أبي هريرة : عن النبي صلى الله عليه و سلم قال ( يتقارب الزمان وينقص العلم ويلقى الشح وتظهر الفتن ويكثر الهرج ) . قالوا يا رسول الله أيما هو ؟ قال ( القتل القتل ) . وقال شعيب عن يونس والليث وابن أخي الزهري عن الزهري عن حميد عن أبي هريرة عن النبي صلى الله عليه و سلم

[2] Yaitu menyebutkan Abi hurairah dalam penyandaran, yaitu penambahan dalam isnad dan terkadang penambahan ke-tsiqah-an dalam matan juga

Read More..